Angin sore berhembus pelan di sudut sebuah kafe senja di Yogyakarta, tempat di mana mata Perdana pertama kali bertemu dengan tatapan teduh Kartika. Sebuah pertemuan tak terduga, namun membekas begitu dalam. Siapa sangka, pertemuan singkat itu menjadi awal dari sebuah cerita cinta yang akan diuji oleh jarak dan waktu.
Perdana, dengan senyumnya yang hangat, dan Kartika, dengan kecerdasannya yang memikat, dengan cepat menemukan kecocokan. Hari-hari mereka lalui dengan obrolan panjang, tawa renyah, dan impian-impian yang mulai mereka rajut bersama. Cinta tumbuh tanpa terasa, seperti bunga yang mekar di musim semi. Mereka berjanji untuk selalu ada, tanpa pernah membayangkan badai perpisahan yang akan segera menerjang.
Takdir berkata lain. Sebuah kesempatan emas untuk mengembangkan karir membawa Perdana jauh dari Yogyakarta, menyeberangi pulau, menuju gemerlap ibu kota. Kartika tetap di sana, dengan impiannya sendiri yang sedang ia kejar. Jarak membentang, ribuan kilometer memisahkan raga, namun tidak dengan hati. Pesan singkat menjadi rutinitas, panggilan video menjadi pengobat rindu. Setiap malam, sebelum terlelap, suara masing-masing menjadi melodi penenang.
Namun, LDR bukanlah taman bunga yang selalu indah. Keraguan sesekali menyelimuti. Apakah jarak ini terlalu jauh? Apakah hati mereka akan tetap terpaut sekuat dulu? Pertengkaran kecil, kesalahpahaman yang dipicu oleh minimnya tatap muka, menjadi ujian yang tak terhindarkan. Di saat-saat sulit itulah, kekuatan cinta mereka diuji. Mereka belajar untuk saling percaya lebih dalam, untuk lebih sabar, dan untuk selalu mengingatkan diri betapa berharganya satu sama lain.
Tahun-tahun berlalu, diwarnai dengan pertemuan singkat yang selalu terasa seperti oase di tengah gurun kerinduan. Setiap pertemuan adalah perayaan, setiap perpisahan adalah janji untuk kembali. Perdana selalu menyelipkan surat cinta di antara barang bawaannya saat kembali ke perantauan, dan Kartika selalu menyambutnya dengan masakan kesukaan dan pelukan hangat yang menyimpan segala rasa rindunya.
Suatu malam, di bawah langit Jakarta yang bertaburan bintang, Perdana berlutut. Di tangannya tergenggam sebuah cincin sederhana, namun penuh makna. "Kartika," ucapnya dengan suara bergetar, "maukah kau menjadikan jarak ini sebagai saksi bisu dari cinta abadi kita? Maukah kau menemaniku mengarungi kehidupan, tak peduli seberapa jauh pun langkah kaki membawaku?"
Air mata bahagia membasahi pipi Kartika. Tanpa ragu, ia mengangguk. "Ya, Perdana. Jarak hanyalah angka. Hatiku selalu bersamamu."
Waktu terus bergulir, dan perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil. Perdana mendapatkan kesempatan untuk kembali bekerja di Yogyakarta. Jarak yang selama ini menjadi pemisah, kini tak lagi ada. Mereka membangun rumah impian, tempat di mana tawa dan cinta bersemi setiap hari. Pernikahan mereka menjadi saksi bisu bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya, seberapapun jauh jarak membentang.
Kisah Perdana dan Kartika adalah tentang keyakinan, kesetiaan, dan kekuatan cinta yang mampu menaklukkan ruang dan waktu. Mereka membuktikan bahwa jarak bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah ujian yang jika berhasil dilewati, akan membuat cinta semakin bersemi dan berakar kuat.